TEORI SASTRA
Definisi,
Konsep dan Hakikat Sastra
a. Definisi
Istilah
sastra berhubungan dengan institusi, karya sastra, dan ilmu sastra. Ketiga
bidang tersebut saling berhubungan dan berkaitan dengan karya sastra. Kita harus
memahami dan menguasai prinsip-prinsip, teori dan konsep sastra serta mamapu
untuk mengaplikasikan untuk penelitian karya sastra. Sementara itu objek
penelitian ilmu sastra adalah karya sastra dan dalam hubungannya dengan karya
sastra seperti pengarang, pembaca, dan dunia sastra. Manfaat sastra ialah
sebagai lembaga dan sebagai bidang ilmu.
Dalam
klasifikasi Rene Wellek (1976) ilmu sastra terbagi menjadi 3 bidang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Teori sastra adalah bidang ilmu sastra yang mempelajari konsep-konsep,
prinsip-prinsip, hakikat dan kaidah sastra. Kritik
sastra bidang ilmu sastrayang mengkritik, menelaah ilmu sastra serta mengkritik
karya sastra dengan , menggunakan teori sastra. hasil kegiatan kritik sastra
dapat berupa teori sastra atau prinsip-prinsip sastra. budaya
sastra ialah ilmu sastra yang mengkaji mengenai aliran-aliran gaya tulisan
preodisasi suatu karya sastra yang bisa saja dihasilkan dari kritik sastra dan
teori sastra. Dan ketiga bidang tersebut saling berkaitan atau saling
berhubungan.
Karya
satra dibedakan menjadi dua jenis karya
sastra tulis dan karya sastra lisan.
Karya sastra tulis di bagi menjadi
tiga , yaitu :
1. Puisi
2. Prosa
3. Drama
Karya
sastra lisan di bedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Puisi
( nyanyian rakyat, lagu-lagu dolanan,
mantra, do’a )
2. Prosa
( mitos, legenda, dongeng )
3. Drama
( ketoprak, wayang orang, wayang kulit,
ludruk, dagelan, sandiwara dll)
Ciri-ciri sastra lisan, diantaranya
:
a. Disebarkan dari
lisan
b. Dari generasi ke
generasi
c. Anonim
d. Menjadi milik
bersama
e. Memiliki banyak
versi
Macam-macam sastra
tulis
Puisi
a. Sejak
dari jaman jawa kuna disebut kakawin
b. Sejak
dari jaman jawa tengahan disebut kidu
c. Sejak
dari jaman jawa klasik disebut tembang (
tembang gedhe, tembang tengahan, tembang alit atau macapat )
d. Sejak
dari jaman jawa modern disebut geguritan
Prosa
a.
Sejak dari jaman
jawa kuna disebut prosa
b.
Sejak dari jaman
jawa tengahan disebut parwa
c.
Sejak dari jaman
jawa klasik disebut babar
d.
Sejak dari jaman
jawa modern disebut cerita cekak, cerita
sambung, novel
Drama
a.
Sejak dari jaman
jawa kuna disebut wayang
b.
Sejak dari jaman
jawa tengahan disebut wayang, tari
c.
Sejak dari jaman
jawa klasik disebut wayang
d.
Sejak dari jaman
jawa baru disebut film
b.
Konsep dan Hakikat Sastra
Sejak
zaman plato, sekitar tahun 470-an SM
sudah muncul pertanyaan klasik tentang sastra.
Dalam diskusi Plato dengan Aristoteles tentang
sastra. Pada zaman itu Horatius menjelaskan manfaat sastra yang indah atau
nikmat dan bermanfaat bagi masyarakat.
Ilmu
sastra yang memiliki objek penelitian yang tidak pasti. Namun demikian, sastra
juga memiliki objek material, yaitu bahasa yang kadar kepastianya dapat di
ukur (
Faruk, 1987), sebenarnya bahasa sastra adalah bahasa sehari-hari yang
digunakan dalam teks satra.
( Teeuw,
1984:21 – 24) menyebut bahwa batasan sastra yang selama ini digunakan
ternyata hanyalah menekankan salah satu aspek saja.
Suatu
pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala sastra adalah pendekatan yang
menyamakan sastra dengan tulisan. Definisinya terdapat pada nama atau istilah,
kata sastra yang berasal dari dua
suku kata yaitu, kata sas dan tra yang berasal dari kata sanseketa. Sas yang berarti mengajar, membimbing,
mengarahkan, memberi petunjuk. Sedangkan kata tra berarti sarana atau alat. Maka dapat disimpulkan sastra adalah sarana atau alat untuk
mengajar. Sastra juga mempunyai istilah lain ialah susastra, su dalam bahasa jawa diartikan baik. Jadi susastra adalah alat atau sarana mengajarkan sesuatu yang baik.
Dalam proses morfologis selanjutnya sastra menjadi kata benda dengan mendapat perfik ke dan sufik an
menjadi kasusastraan.
Kata
sastra dalam bahasa barat di inggris di sebut literature, dalam bahas jerman literature,
dan dalam bahasa jerman literature
yang semua dalam bahasa latin literatura yang diciptakan dari bahasa yunani grammatika litteratura dari kata littera, sementara kata grammatika berasal dari kata gramma yang berarti huruf ( tulisan, letter ) .
( jerman : schriffium ) menerjemahkan literature sebagai segala sesuatu yang tertulis,
pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.
Dalam bahasa jawa kuna, dipakai istilah pustaka yang diartikan
sebagai buku dampingan atau buku di samping.
Bahasa
Sastra
Definisi
sastra ternyata sangat bergantung dari suatu sudut nama. (Lomyan,1977) menyimpulkan bahwa sasrtra harus dilihat dari segi
bahasa karena sebenarnyalah sastra adalah peristiwa bahasa.
Bahasa
sastra tergolong bahasa yang khas (ein
sekunder modellbildendes system) yaitu sistem pembentuk model sekunder
berdasarkan sistem primer. (n primares
modellbeldendes system) sistem bentuk model primer yang mengikat baik
penulis maupun pembaca.
Sastra
adalah sistem tanda atau sistem komunikasi yang tidak langsung (istilah Riffarre
: ekspresi yang tidak langsung). Sastra juga sering disebut juga aktifitas
bahasa yang membicarakan suatu hal.
Ketidaklangsungan
ekspresi karena disebabkan oleh 3 hal, yaitu :
1.
Displacing
of meaning ( mengganti arti ), istilah Displacing of meaning ialah mengganti
arti sebagai prinsip sastra dengan cara memanfaatkan bahasa kias ( figurative language ). dan Dalam karya sastra sangat kaya akan
pemanfaatan bahasa kias. Misalnya,
kiasan dicandra yang diartikan
sebagai bidadari. Ada juga istilah kiasan lain seperti, Rekma memak ngembang bakung ireng memes rada ijo, nathuk nila cendhani
mripat mblalak idepe tumenga ing tawang.
2.
Distoring
of meaning (membengkok-bengkokan arti ) dalam
sastra jawa banyak ditemui bentuk-bentuk puisi tradisional parikan. Dan ditemukan juga
nyanyian rakyat (lagu dolanan).
3.
Creating
of meaning ( menciptakan arti baru) dalam sastra
jawa muncul pada bentuk-bentuk ungkapan tradisional seperti bentuk sanepa.
Sastra
Sebagai Sistem Semiotik
Semiotik dapat
diartikan sebagai tanda-tanda atau ilmu tentang tanda, menurut ahli semiotik,
yang mengatakan bahwa sastra adalah sistem tanda. Dalam ilmu semiotik kita
menpelajari Tanda sign.
Ilmu Sign memiliki dua aspek, yaitu: penanda ( signifier) dan petanda (signified). penanda ( signifier) bersifat semena-mena (arbitrer) yang tergantuk pada konvensi pemakaiannya. Sedangkan
petanda (signified) adalah bentuk sementara
penanda adalah aspek isi aspek konsep ( Ferdinad De Saussure, 1857-1913).
C.S Peirce membagi tanda
kedalam tiga golongan, jika dilihat dari hubungan antara yang menjadi penanda
dan yang ditandi (petanda). Golongan tersebut diantarnya, 1). Ikon, 2). Index,
3). Simbol.
Ikon
adalah
suatu bentuk tanda yang mempunyai kemiripan, seperti foto dan peta yang
mempunyai kemiripan dengan bentuk aslinya, foto mirip dengan bentuk wajah atau
gambar aslinya dan peta mirip dengan pulau asli yang bentuknya diperkecil dari
wujud asli.
Index
adalah
hubungan penanda dan petanda yang merupakan hubungan sebab akibat. Contoh : api
dan asap, gula dan semut, mendung dan hujan.
Simbul
tidak mempunyai hubungan secara langsung
ataupun sebab akibat seperti pada dua golongan lainya. Hubungannya bersifar arbitrer semena-mena. Bahasa meruoakan simbol. Bahasa
yang digunakan pada simbul pada umunya bahasa khas yang cara pemahamannya
konvensi bahasa dan sastra.
Roland Berthes (1915-1980)
yang merupakan penerus pemikiran saussure.
dikemukakan oleh Roland Berthes dalam
teorinya tersebut roland mengembangkan
semiotika di bagi menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu : tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan pendata pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung, dan tidak pasti ( Yusita Kusumarini, 2006).
Selain itu roland juga melihat aspek lain dari
penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat yang terletak pada dua
tingkat penandaan, jadi setelah terbentuk sistem signifier-signified dan tanda tersebut akan menjadi penanda baru
yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda yang baru. Jadi ,
ketika tanda tersebut memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
denotadi , maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Bebagai
Pendekatan Dalam Sastra
The mirror and the lamp menyatakan
bahwa, sastra sebagai sarana komunikasi yang dapat didekati dari aspek, yaitu
univesi atau semesta, ekspresi, pragmatik, dan objektif atau karya itu sendiri
(abrams, 1981).
Pendekatan
semesta sering disebut juga pendekatan mimesis adalah pendekatan yang
menekankan pada segi alam semesta. Atau karya sastra yang dianggap baik jika
sebagai cermin alam semesta.
Pendekatan
simesis yang dirintis Plato sekitar tahun 470 an SM yang
berpandangan bahwa kenyataan sebenarnya hanyalah tiruan karena yang nyata
hanyalah dunia ide.Dan kebenarannya bersifat hierarkis.
Pendekatan
Pragmatik menekankan bahwa karya
sastra disebut baik jika memiliki fungsi bagi masyarakat. Dan menekankan pada
segi pembaca. Munculnya tulisan Horatius yang menyatakan bahwa sastra haruslah
indah dan haruslah menyenangkan atau bermanfaat.
Pendekatan
ekspresif menekankan dari segi
pengarang atau pecipta sastra. Teori yang didominasikan oleh teori psikologi
tokoh.
Pendekatan
objektif menekankan dari segi
objeknya, karya sastra sebagai suatu otonom.
Gerakan
Strukturalisme yang dilahirkan oleh pendekatan Saussure ,
dilengkapi oleh metode filsafat hermeneutik. Yang digunakan sebagai metode
analisis dan pendekatan terhadap karya sastra.
Pendekatan
yang rumuskan oleh barams , pendekatan semiotilk adalah
pendekatan yang menekanakan bahwa teks sastra merupakan sistem tanda.
Pendekatan
stilistika adalah pendekatan yang menekankan pada aspek bahasa.
Pendekatan
sosiologi adalah pendekatan yang menekankan pada segi sosial masyarakat.
Pendekatan
psikologi / psikokritik adalah
pendekatan yang menekankan segi kejiwaan tokoh atau pengarang.
Pendekatan
etestika memandang bahwa karya sastra adalah kreativitas seni.
Berbagai Metode
Analisis
Langkah awal untuk memahami teks
sastra adalah melakukan analisis terhadap teks. Disini terdapat beberapa metode
analisis diantaranya, metode hermeneutik, struktural semiotik, dan metode
dealetik.
Metode hermeneutik
yang berasal dari filsafat jerman. Hermeuneutik berasal dari hermeniein yang
berarti menafsirkan. Menurut sejarah berasal dari kata hermes (
Dewa penyampai atau penafsir). Dapat disimpulkan bahwa Metode hermeneutik adalah teknik menafsirkan teks dari tidak
mengerti menjadi mengerti atau faham. Metode hermeneutik dikembangkan
oleh Riffaterr euntuk memahami teks satra. Menurut Lorman bahasa
sastra adalah bahasa tingat dua, sementara bahasa utama adalah bahsa yang di
gunakan sehari-hari. Pendapat Lorman bahwa untuk memahami sastra langkah
pertama yang harus digunakan adalah pembacaan heuristik, pembacaan yang
masih bersifat linier yang didasarkan pada konvensi bahasa.
Metode struktural
semiotik adalah metode yang menggunakan prinsip-prinsip
struktural untuk memperoleh analisis semendetail mungkin ( Pradopo, 1993 ).
Asumsi dasar metode ini adalah bahwa karya sastra merupakan bangun strukturnya
saling berkaitan.
Metode dealetik berasal
dari filsafat Hegel mengungkapkan bahwa metode dealetik dikembangkan
dari mazab Marxis Lucient yang dikembangkan oleh Goldmann yang terdiri dari dua pasang oposisi, yaitu
sebagian-keselurihan dan pemahaman penjelasan. Cara kerja metode ini adalah
kritikus bersangkutan dari pemahaman teks dengan memperhatikan unsur teks
bagian demi bagian ke arah keseluruhan. Keluar dari teks harus melalui mediasi
untuk memahami unsur diluar dan baru menjelaskan hubungan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar